Laku Spiritual Sebagai Upaya Kembali Dari Jalan Sesat di Bumi Menuju Langit

Opini | patrolinusantara.press – Laku spiritual itu perlu ditingkatkan bukan lantaran kesadaran hidup telah berada di ujung lorong. Tetapi karena pemahaman dan kesadaran bahwa laku spiritual harus semakin berkualitas untuk merundukkan kepala agar tidak pongah, sombong dan jumawa, sebab di atas langit masih ada janji yang perlu ditunaikan. 

Kepongahan intelektual pun patut bertakhmif, bila perlu sampai tersuruk dibawah rak buku yang dibanggakan. Toh, semuanya yang paling esensial adalah menguraikan semua isi kitab yang sudah khatam dilumat untuk kemudian dapat dihembuskan ke segenap penjuru angin agar bisa membuat keteduhan dan kesejukan.

Laku puasa wajib dari agama pada bulan ramadhan menandai bahwa puasa sunnat yang sudah dilakukan itu tidak cukup. Atau sebaliknya, puasa sunnat itu sekedar untuk menyempurnakan puasa wajib yang dilakukan agar bisa mendatangkan berkah ekstra yang bertaburan tak terhingga banyaknya.

Kesabaran dan keikhlasan perlu terus ditakar saat berpuasa. Karena itu pada kelas berikutnya, berpuasa mulai dapat diartikan sebagai bagian dari upaya untuk menghormati orang yang tidak berpuasa. Ikhwal berkah dan ganjarannya, toh akan kita dikantongi sendiri,  tanpa perlu risau dengan jatah maupun rizki orang lain.

Puasa itu pun untuk menjinakkan birahi korup, mengurangi kesukaan berbohong, menghilangkan kegemaran menebar janji palsu. Bahkan puasa bisa mengerem sikap mau menang sendiri yang semakin menjauhkan diri dari sikap ugahari.

Lapar dan haus dalam menikmati ibadhah puasa wajib maupun puasa sunnah — Senin Kamis, atau bahkan berpuasa setiap hari — merupakan upaya pribadi yang tidak ada urusannya dengan instansi manapun, kecuali sekedar ekspresi kepatuhan pada keyakinan terhadap petunjuk dan janji Tuhan yang tidak mungkin ingkar.

Sikap tamak dan rakus pun — tak hanya dalam pengertian makan dan minum semata, tapi juga untuk kekayaan dan kekuasaan — saatnya bisa dievaluasi waktu menikmati puasa sebagai rentetan dari perjalan spiritual sebelum sampai ke taman pemakaman. 

Tak perlu risau untuk disebut sebagai pahlawan, meski semasa hidup sudah puluhan nyawa manusia yang mampu diselamatkan. Sebab perusak lingkungan dan harkat serta martabat manusia hanya — sudah lebih dari cukup untuk suatu penghormatan tanpa harus disesumbarkan.

Begitulah hakekat puasa bagi seorang kawan yang tetap enggan disebut sufi. Sehingga dalam segenap tata kehidupannya selalu terjaga untuk tidak dipamerkan kepada siapa-siapa. Sebab puasa pun maknanya hanya untuk diri sendiri. Dan Tuhan sangat paham untuk apa saja yang kita lakukan. Jadi puasa pun bukan untuk siapa-siapa, tidak pula untuk dibagi kepada Tuhan sekalipun. Karena pemaknaan untuk dan demi Tuhan itu adalah kepatuhan dan kesetiaan pada segenap ajaran dan tuntunan-Nya semata.

Itu sebabnya makna puasa yang hakiki itu bukan sekedar menguji konsistensi, kejujuran serta keikhlasan, tapi juga sebagai upaya mengukuhkan  komitmen dan kepatuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Maha Penyayang serta Maha Mengetahui apakah sungguh kita mampu menikmati puasa sebagai bagian dari laku spiritual, atau  justru saat melakukan puasa masih dalam kegindahan rasa keterpaksaan dan ketersiksaan !

Padahal siksa yang pasti itu kelak adalah adanya; karma, azab akibat janji bohong, pengkhianatan dan keculasan menilep hak rakyat seperti yang semakin marak merusak, merongrong dan menggerogoti kekayaan negeri kita sekarang ini. Karena itu, jalan spiritual itu menjadi semacam upaya kembali dari kesesatan menuju jalan petunjuk Tuhan.

Jacob Ereste, Banten, 1 April 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *