Apakah Nasdem “Menyerah” ?

By : Chazali H. Situmorang

 

Opini | patrolinusantara.press – Perlakuan Presiden Jokowi terhadap Nasdem, dengan tidak mengajak Surya Paloh Ketua Umum Partai Nasdem bersama dengan 6 Partai Pemerintah untuk  berkumpul di Istana Merdeka tanggal 2 Mei 2023 yang lalu merupakan bukti nyata bahwa Presiden Jokowi tidak lagi menganggap teman seiring dan sejalan dalam menjalankan politik Jokowi untuk Pemilu 2024. 

Presiden Jokowi menjelaskan kepada wartawan, kenapa tidak mengundang SP (Surya Paloh). Dengan santai Jokowi menyatakan  Partai Nasdem sudah punya koalisi sendiri. Koalisi yang berbeda dengan koalisi 6 partai pemerintah.

Koalisi 6 partai pemerintah bersepakat mengusung 2 calon Presiden yaitu Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Hanya Partai Nasdem yang masuk partai pendukung pemerintah, yang mempunyai pilihan Capres berbeda yaitu Anies Baswedan, bersama dengan 2 partai tidak pendukung pemerintah Demokrat dan PKS. Mereka menyebutnya Koalisi Perubahan.

Namun demikian sikap Partai Nasdem tetap kukuh mendukung dan menghantarkan Presiden Jokowi menyelenggarakan tugas pemerintahan sampai akhir periode tahun 2024, merupakan bentuk kesatrianya seorang Ketua Umum, dan juga karena masih berkeinginan 3 menterinya tetap duduk di Kabinet Jokowi. Suatu pertimbangan politik yang sering anomali dengan  akal sehat umumnya. 

Memang kontrak politiknya seperti itu. Tidak ada kontrak politik bahwa Nasdem akan sepakat dengan Presiden Jokowi terkait siapa calon Presiden sebagai pengganti Jokowi. 

Sikap Jokowi yang punya keinginan untuk mendukung Ganjar dan Prabowo, dan tidak menyukai Anies Baswedan  dan bahkan ada upaya untuk “menjegal” Anies, merupakan manuver politik yang mengacaukan peran dan tanggung jawabnya sebagai Presiden RI yang harus menerapkan politik negara, yang harus berada diatas kepentingan semua partai politik. 

Sikap politik Presiden Jokowi tidak boleh diatas dan mengalahkan tugas dan tanggungjawab Presiden sebagai negarawan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan  yang diamanatkan dalam Konstitusi. 

Presiden Jokowi tidak etis dan tidak elok menempatkan diri sebagai inisiator bahkan mengundang sebagian Ketua Partai dan tidak mengundang sebagian  Ketua Partai lainnya ke Istana Merdeka, dalam  kapasitasnya  sebagai Presiden. Presiden sudah menanamkan “perasaan” pilih kasih, diskriminatif, dan mencederai persatuan dan kesatuan bangsa. 

Presiden Pemimpin Negara

Presiden sebagai pemimpin negara adalah benar dan sesuai Konstitusi. Pejabat tertinggi mengurus roda pemerintahan  dan pejabat tinggi dalam mengurus negara.

Tetapi Presiden Jokowi merupakan pejabat politik sebagaimana disampaikan kepada para wartawan, apakah benar? Sebagai anggota partai PDIP benar sebagaimana dikatakan Ketua Umum PDIP Megawati bahwa Pak Jokowi petugas partai yang diusung menjadi Presiden. 

Dalam struktur kepengurusan PDIP, sepanjang yang diketahui tidak ada data yang mencantumkan Jokowi sebagai pengurus partai pada level manapun, apalagi sebagai pejabat partai. 

“Urusan capres, cawapres itu urusannya partai atau gabungan partai. Sudah bolak-balik saya sampaikan kan? Tapi kalau mereka mengundang saya, saya mengundang mereka boleh-boleh saja,” jelasnya. “Apa konstitusi yang dilanggar dari situ? Enggak ada. Tolonglah mengerti bahwa kita (saya) ini juga politisi, tapi juga pejabat publik,” kata Jokowi.

Pertanyaannya adalah “ apakah Presiden mengundang 6 Ketua Umum Partai ke Istana Merdeka sebagai pejabat  publik atau politisi?”

Kalau Pak Jokowi sebagai politisi apakah tepat menggunakan Istana Merdeka sebagai tempat pertemuan?. Sebaiknya diluar Istana. Misalnya disalah satu kantor partai atau ditempat lain, diluar fasilitas lembaga negara.  Jika itu yang dilakukan, tidak ada masalah dengan tidak diundangnya Partai Nasdem, karena itu urusan partai.

Tetapi jika Presiden Jokowi menempatkan diri sebagai Pejabat Publik kewajiban beliau membina seluruh partai yang sah di Republik ini. Baik pendukung pemerintah maupun bukan ke Istana Negara. Hak semua Ketua Umum Partai untuk menikmati sajian makanan Istana yang tentu enak cita rasanya. 

Kondisi yang tidak kondusif itu, akan menyebabkan semakin lebarnya jurang komunikasi antar partai yang mendukung dan tidak mendukung pemerintah. Jika semakin dekat Pemilu, dan situasi semakin tajam, hal itu tidak terlepas dari peran Presiden Jokowi. 

Kalaupun kita melihat dan diliput media, beberapa Ketum Partai mendatangi Ketum Partai yang tidak sehaluan seperti seterika, hanyalah pencitraan dan menjajaki dalamnya air  (testing the water). 

Analisis saya, jika sudah waktunya harus ditetapkan paket Capres dan Cawapres, polarisasi semakin jelas. Tidak ada lagi warna pelangi. Akan muncul 3 warna yang bercorak beda terang benderang. 

Apakah Presiden Jokowi dapat mengendalikan situasi yang sudah terpolarisasi itu? Pengalaman selama ini, setiap akhir pemerintahan posisi Presiden tidak nyaman. Kekuasaan secara perlahan semakin lemah. Apalagi dalam Pilpres terpilih Presiden yang tidak sesuai dengan yang  diharapkan Presiden Jokowi, masa pergantian/ serah terima Presiden Oktober 2024, sekitar 6 atau 7 bulan, dan Konstitusi melarang Presiden Jokowi membuat kebijakan-kebijakan penting dalam masa penantian serah terima, suatu periode yang tidak mengenakkan bagi seorang Presiden. 

 

Cibubur, 6 Mei 2023

*) Dosen FISIP UNAS/Pemerhati Kebijakan Publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *