Jacob Ereste: Keseimbangan Olah Raga, Olah Pikir dan Olah Batin Agar Bisa Bercengkrama di Langit Bersama Tuhan

OPINI | patrolinusantara.press – Potensi di dalam tubuh manusia, setidaknta ada tiga kekuatan yang dapat menjadikan manusia super kuat secara fisik, super pintar karena akalnya dan super spiritual lantaran kesadaran ketuhanannya, ketajaman insting, kelembutan hati, kepekaan rasa dan sensitifitas, kematangan jiwa religius serta kemampuan daya analisis batinnya. Begitulah kisaran oleh raga, olah pikir dan olah jiwa yang dimiliki manusia.

Olah raga dalam tataran maksimal mampu mencapai kekuatan secara fisik, kemampuan dalam batasan keterampilan, kemahiran hingga keahlian yang tidak mampu dicapai oleh setiap orang, seperti dalam ilmu bela diri hingga ketangkasan dalam satu atau lebih dari bidang olah raga.

Sedangkan puncak dari olah pikir yang dapat dimaksimalkan adalah capaian dalam bidang keilmuan maupun pengetahuan serta daya pikir yang kritis serta jenius.

Laku dalam olah rasa atau bathin yang bersifat di kedalaman jiwa, bisa disebut kesadaran ilahiah yang mampu mendekatkan diri pada yang maha gaib, yaitu Tuhan yang diyakini sebagai pencipta, penjaga sekaligus penguasa alam semesta dengan segenap isi dan makhluk yang ada.

Tata urutannya pun begitu, jika hendak diberi jenjang tingkatan atau urutan dalam pengertian derajat dari bobot muatan yang terkandung dari tata urutan tingkatannya  masing-masing  dari bobot, kualitas isi serta manfaatnya bagi.

Seorang gladiator bisa saja tidak terlalu mementingkan peran otak (pikiran) serta rasa (feeling serta kejiwaan) yang lebih bersifat psikologis. Karena  itu, ketiga komponen dasar dari potensi yang dimiliki manusia seperti tersebut di atas, diperlukan keseimbangan dalam tata kelola pengembangan, pemeliharaan serta cara dalam mendayagunakan serta pemanfaatannya.

Yang ideal dan patut dipahami bahwa manusia tidak perlu menggunakan raga (fisik) yang berlebihan, karena dapat dibantu oleh daya nalar atau daya pikir yang mampu untuk mempermudah atau meringankan semua masalah yang semula dianggap harus atau hanya bisa diatasi secara fisik  seperti binatang yang tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan daya pikirannya.

Suatu masalah pun, tidak sedikit yang harus dan perlu dihadapi dengan segenap kemampuan yang dimiliki manusia sebagai makhluk paling sempurna. Sehingga sikap dan sifat binatang yang cuma mengandalkan kemampuan fisik dan naluri yang cuma sekedar itu — yang hanya berkisar pada hal-hal yang bersifat fisik atau sebatas keterampilan  semata — maka tidak akan pernah sempurna sebagaimana kemampuan manusia untuk menghadapi suatu masalah atau bahkan suatu keadaan dari situasi tersulit sekalipun. Sebab manusia — sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna di muka — sesungguhnya mampu menggunakan potensi kemanusiaan yang melekat sebagai fitrah yang diberi oleh Sang Maha Pencipta alam semesta dan seisinya, termasuk  manusia yang ditakdirkan sebagai khalifah di muka bumi.

Kesadaran dan pemahaman manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mengemban amanah suci — ilahiah seperti Nabi, Wali dan pada penuntun menuju rumah Tuhan — para ulama atau tokoh agama — adalah pembeda utama dari makhluk lain yang ada di bumi, termasuk malaikat yang dipercaya sebagai perpanjangan tangan Tuhan untuk sesekali menyapa dan mengingatkan — atau bahkan sekedar memberi isyarat kepada manusia terpilih untuk menangkap pesan dari Tuhan.

Atas dasar itu manusia sesungguhnya adalah makhluk paling mulia dibanding makhluk ciptaan Tuhan yang lain, termasuk malaikat yang tak punya nafsu, tak punya gagasan kecuali menjalankan perintah Tuhan yang acap didangkal — atau sekedar diabaikan oleh manusia — yang memiliki nafsu dan harapan berlebihan — dibandingkan dengan makhluk Tuhan yang lain. 

Oleh karena itu, kesempurnaan manusia sebagai makhluk Tuhan bisalah dipahami dari kesadaran serta kemampuan untuk menjaga keseimbangan dalam hal yang bersifat raga (fisik), akal dan batin (yaitu rasa, hati, insting serta hawa nafsu) yang mampu mengendalikan diri dari ketamakan, kerakusan dan kesewenang-wenangan yang justru menjauhkan diri dari Tuhan, lantas semakin dekat dengan makhluk terburuk ciptaan Tuhan juga, yaitu binatang atau iblis.

Olah raga tanpa pikiran akan tersesat di hutan belantara kekerasan. Olah raga dan olah pikir yang pongah tiada kendali dari spiritualitas (religiusitas) pasti akan membuat kerusakan di muka bumi, atau bahkan membuat kepunahan atas pikiran yang sesat tanpa kendali hati nurani. Sikap dan sifat keangkuhan dari pola berpikir khas akademik tanpa kendali ini, akibat langsung dari spiritualitas yang terabaikan, tak pernah mau dan tak mampu dipahami memiliki daya jelajah yang amat dahsyat, sampai ke langit lapis ketujuh seperti yang pernah dilakukan para Nabi.

Kata bijak seorang sufi, keseimbangan antara oleh raga, olah pikir dan olah batin akan menjadi bekal untuk bercengkrama di langit bersama Tuhan.

Banten, 8 Maret 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *