LAMPUNG, patrolinusantara.press – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyoroti permasalahan dana sponsor yang kerap muncul di Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Dana sponsor muncul karena biaya politik untuk mengikuti kontestasi di Pemilu atau Pilkada yang terlampau mahal.
Demikian diungkapkan Firli saat menghadiri rapat koordinasi program pencegahan korupsi terintegrasi di Provinsi Lampung pada 25 sampai 28 April 2022. Rapat koordinasi tersebut dihadiri jajaran Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan Inspektorat Kabupaten/Kota se-Provinsi Lampung.
“Setiap orang yang ingin mengikuti pemilu/pilkada justru butuh biaya mahal. Harus menyiapkan biaya lebih untuk pencalonannya, meski sering pula dibiayai oleh sponsor,” kata Firli melalui keterangan resminya, Selasa (26/4/2022).
Menurut Firli, para pemilik dana rela memberikan uangnya sebagai sponsor kepada para calon yang bakal mengikuti Pemilu maupun Pilkada karena ada timbal balik ketika kandidatnya terpilih.
Oleh karenanya, tak sedikit para kepala daerah yang ketika menjabat masih mempunyai utang kepada para pengusaha.
“Sehingga kepala daerah tersebut seperti ‘membayar utang’ pemilihan dengan menggunakan uang yang sumbernya dari APBD atau APBN,” kata Firli.
Tak hanya itu, kata Firli, DPRD juga biasanya kerap meminta ‘uang jasa’ kepada kepala daerah saat dalam pembahasan anggaran.
Kemudian, kepala daerah melalui sekretaris daerah meminta uang kepada kepala dinas; lalu kepala dinas meminta uang kepada pemborong. Menurutnya, hal ini seperti lingkaran, terus berlanjut tidak terputus.
“Ini fakta yang terjadi di lapangan. Untuk itu, KPK mendalami mengapa korupsi masih ada. Apakah pemberantasan korupsi oleh aparat penegak hukum efektif.
Bagaimana pengawasannya, bagaimana punishment, apakah menimbulkan efek jera, dan bagaimana sistem serta regulasinya. Apakah masih ada celah korupsinya,” tegas Firli.
Firli melihat korupsi bisa terjadi di segala sektor kehidupan. Mulai dari korupsi pada pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, hingga saat pemilihan kepala daerah.
Praktik korupsi yang paling banyak terjadi di Indonesia yakni suap dan gratifikasi.
Penyebabnya, kata Firli, adalah banyak masyarakat yang tidak tahu. Di mana, ketika menerima gratifikasi atau suap justru masih dianggap sebagai suatu rejeki.
Oleh karenanya, Firli menilai peran pencegahan harus lebih diefektifkan melalui sosialisasi nilai-nilai anti korupsi.
“Oleh karenanya KPK selalu berupaya bagaimana mengampanyekan nilai-nilai anti korupsi. Mulai dari pendidikan antikorupsi sejak dini, hingga ajakan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran supaya tidak korupsi,” kata Firli pungkasnya.
(Ytn/Hms/red)