Mbah Siyem Bersama GJL dan GAMAT- RI Menggugat Penanganan Perkara di Polda Jateng Yang Dinilai Lamban

Semarang | patrolinusantara.press – Unjuk rasa di depan Mapolda Jateng (7/3/23)Selasa  pagi, terasa beda dengan hadirnya Mbah Siyem  (83) yang ikut serta di dalamnya. Meski usia tidak  lagi muda, mbah Siyem terlihat semangat bersama para peserta unjuk rasa yang didukung Gerakan Masyarakat Anti Mafia Tanah (GAMAT-RI) dan Gerakan Jalan Lurus (GJL) memperjuangkan nasibnya untuk mendapatkan keadilan.

Mbah Siyem, warga Desa Sumberrejo Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang, mengaku kalau tanahnya yang ber-SHM Nomor 105 Desa Ujung-Ujung Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang, sekarang ini dikuasai oleh Sumardiyanto tanpa ada ganti rugi apa pun. “Kulo namung nyuwun tulung kalih pak Kapolda, kersane siti kulo diwangsulaken. (saya hanya minta tolong kepada Bapak Kapolda agar tanah saya dikembalikan,” pinta Mbah Siyem.

Senada dengan Mbah Siyem, ibu Yanti (60) putri Mbah Siyem juga meminta agar pak Kapolda berkenan membantu mengembalikan tanah Mbah Siyem (SHM 105), tanahnya kang Harno kakaknya (SHM 81) dan tanahnya paklik Rusdi (SHM 39). “Kami meminta dan terpaksa dengan cara berunjuk rasa karena laporan kami ke Polda sejak tahun 2018 dan 2019, hingga sekarang ini tidak juga tuntas meski semua sudah diperiksa dan kasusnya telah benderang,” tegas Ibu Yanti yang meminta agar Kapolda Jateng berkenan menindaklanjuti laporan para pelapor ke Polda yang sejak empat lima tahun lebih, tidak tuntas-tuntas juga.

“Kami tidak sekedar mohon tanah SHM 39, 81 dan 105 berikut sertifikat-sertifikatnya, yang dikuasai secara melawan hukum oleh oknum mantan Kapolsek bernama Sumardiyanto, warga Salatiga, dikembalikan kepada kami. Kami juga mohon para terlapor, termasuk Dono Istiawan yang menjual SHM-SHM kami, diproses sesuai hukum yang berlaku,”imbuhnya.

Yanti juga menerangkan kalau dahulu tanahnya Bapak Sumali (Almarhum) orang tuanya, yakitu SHM 38, juga dikuasai secara melawan hukum oleh Sumardiyanto dengan modus menyewa tanah SHM 38 dan 81, tetapi dikwitansi sewa tanah, ditulis oleh Sumardiyanto menjadi jual beli. “Mosok, tanah seluas 6310 (enam ribu tiga ratus sepuluh meter persegi) dibeli/diganti rugi Rp.15.000.000, (limabelasjuta rupiah, atau per meter perseginya Rp.2.377 (duaribu tiga ratus tujuh puluh tujuh rupiah). Itu kan akal-akalan. Nalarnya, Rp. 15.000.000,- itu untuk sewa tanah selama beberapa tahun, bukan untuk membeli tanah.” Tambah Yanti yang berterima kasih kepada para pihak yang telah dan akan terus membantu memperjuangkan nasibnya untuk mendapatkan keadilan saat dirinya bersama keluarga menjadi korban ketidakadilan.

Ada yang menarik dari pernyataan Yanti, saat di depan Mapolda dan juga saat diterima Gubernur Jawa Tengah yang diwakili Plt Asisten Sekda Provinsi Jawa Tengah. “Semua masalah berawal dari pengurusan sertifikat tanah Bapak Sumali, Bapak Rusdi, Bapak Harno dan Ibu Siyem yang berprofesi sebagai petani di tahun 1970-an,’ jelas Yanti berapi-api.

Proses pensertifikatan menurut Yanti, difasilitasi oleh pegawai Agraria bernama Soewandono. Setelah sertifikat hak milik (SHM) terbit, oleh Soewandono, tidak juga diberikan kepada para petani yang namanya tertuang di dalam SHM-SHM tersebut. Yanti juga menambahkan kalau selama digunakan sebagai lahan pertanian dan perkebunan, tanah-tanah tersebut tidaklah ada masalah. 

“Baru setelah tanah SHM 38 dan 81 disewa oleh Sumardiyanto dan kemudian direkayasa seolah-olah ada transaksi jual beli dengan kami, muncul masalah. Kami yang merasa tidak pernah menjual tanah-tanah kami, dipaksa untuk menyerahkan tanah-tanah kami. Hanya saja, setelah kami laporkan ke Polres Semarang, kemudian ditawari pula uang Rp.50.000.000,- melalui seorang oknum pengacara di Salatiga. Tawaran itu kami tolak dan kami sering diteror oleh Sumardiyanto,” tandas Yanti yang merasa kalau keluarganya selama ini telah dibuat susah oleh Sumardiyanto sehingga Yanti berkirim surat ke Bupati dan kantor Pertanahan Kabupaten Semarang untuk membantu menyelesaikan masalahnya dengan Sumardiyanto.

“Di kantor Pertanahan, terungkap fakta kalau Sumardiyanto berani menguasai tanah kami dengan berbagai rekayasanya karena merasa telah membeli SHM kami dari R. Dono Istiawan seorang oknum pegawai BRI. R. Dono Istiawan adalah anak dari R. Soewandono yang dahulu memfasilitasi pengurusan SHM-SHM kami,” jelas Yanti yang sejak awal mengawal masalah tanah-tanah keluarganya melawan kesewenang-wenangan Sumardiyanto.

Yanti yang didampingi para relawan dari gerakan Anti Mafia Tanah/ GAMAT-RI dan GJL, terus berkisah,“Karena tidak mau mengembalikan tanah dan SHM-SHM kami dan kami tahu sumber masalah dari R. Dono Istiawan, maka kami somasi R.Dono Istiawan hingga akhirnya di bulan April 2018, SHM 38 dikembalikan kepada Bapak Sumali. Hanya saja, Sumaridyanto tidak mau mengembalikan tanah-tanah kami yang telah dikuasainya dengan berbagai rekayasanya.” 

“Karena ketidakmauannya itulah, kami melaporkan ke Polda Jateng di tahun 2018 dan 2019. Hanya saja, terlapor Sumardiyanto terus berulah dengan modus menggunakan nama Rusdi palsu 1 dan Rusdi palsu 2 untuk menguasai SHM 39 atas nama RUSDI asli, serta Harno lain Harno Palsu dan Harno Palsu 2 guna menguasai tanah SHM 81 atas nama HARNO asli,” sela Wahyu Triadi yang menambahkan kalau keluarga Harno palsu 1 dan keluarga Rusdi palsu 1 maupun Rusdi palsu 2, sudah mengakui kalau rekayasa semua atas inisiatif Sumardiyanto. 

“Kami punya bukti otentik pernyataan mereka dan mereka adalah korban. Bahkan keluarga Rusi Palsu 1, yaitu Ibu Maemonah Cs, sudah meminta kepada Kantor Pertanahan dan Polda untuk membantu mengembalikan kepada Rusdi asli. Tapi sayang, sampai sekarang tidak ada kelanjutannya,” tambah Wahyu Triadi.

”Tanah SHM 38 sepenuhnya berhasil kami kuasai kembali setelah diukur ulang oleh Kantor Pertanahan pada bulan September 2022 yang saat itu dibantu para penyidik perkara Kasus tanah SHM 38. Sedangkan tanah dan SHM 39, 81 dan 105, masih dikuasai Sumardiyanto yang nampaknya belum juga ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda meski kasusnya sudah terang benderang.” 

“Dari situ nampak bila perkara tanah SHM 38 selesai meski masih menyisakan masalah, yaitu, sebagian tanah di SHM 38 yang sudah ditambang dan dijual Sumardiyanto untuk proyek pembangunan jalan tol Semarang Solo, tidak dikembalikan atau tidak diberikan kepada kami hasil penjualannya. Demikian halnya tanah SHM 39, 81 dan 105 yang dahulu berupa perbukitan, sekarang ini telah rata karena ditambang atau dikeruk dan dijual ke proyek jalan tol Semarang Solo namun uangnya tidak diberikan kepada kami” Kata Yanti mempertegas soal ulah Sumardiyanto dan R. Dono Istiawan yang selama ini masih terkesan tidak tersentuh hukum.

Dalam orasinya di depan Mapolda maupun di depan Plt .Asisten Sekda Provinsi yang mewakili Gubernur Jawa Tengah, Budi Priyono, SE dari Gerakan Jalan Lurus (GJL) menyatakan sangat setuju kalau para korban melakukan unjuk rasa. Itu sebabnya pula GJL dan GAMAT-RI, siap membantu para korban untuk mendapatkan keadilan. “Rakyat harus dibantu dan GJL mohon kepada Bapak Kapolda berkenan untuk segera ;

Menuntaskan penanganan laporan Almarhum Bapak SUMALI, Bapak RUSDI, Bapak HARNO dan Ibu SIYEM di Polda Jateng dengan Terlapor Sumardiyanto dkk, dan memproses para terlapor sesuai aturan hukum demi tegaknya kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Membantu para pelapor agar Sumardiyanto dan R. Dono Istiawan mengembalikan tanah-tanah Bapak RUSDI, Bapak HARNO dan Ibu SIYEM, berikut SHM-SHM-nya (SHM 39, 81 dan 105) kepada Bapak RUSDI, Bapak HARNO dan Ibu SIYEM sebagai pihak yang berhak dengan identitas SHM seperti semula, RUSDI, HARNO dan SIYEM asli.  

Membantu para pelapor agar Sumardiyanto mengembalikan bagian dari tanah-tanah para pelapor yang awalnya berupa perbukitan tetapi dikepras dan dijual Sumardiyanto sebagai tanah urug sebanyak 3993 dump truck (sesuai catatan, atau 4000 truck dump kurang 7) ke proyek pembangunan jalan tol Semarang  Solo beberapa tahun yang lalu. Bila tidak, maka hasil penjualan tanah-tanah perbukitan para pelapor yang dikepras dan dijual sebagai tanah urug ke proyek pembangunan jalan tol Semarang-Solo, harus diberikan kepada para pelapor.

Membantu para pelapor untuk dapat segera dipenuhinya permohonan Ibu Maemonah yang telah berkirim surat mohon ke BPN Kabupaten Semarang dan Polda Jateng agar membatalkan SHM 39 atas nama Ibu MAEMONAH dan anak-anaknya (yang disebutkan sebagai ahli waris RUSDI Palsu 1), sekaligus meminta untuk dikembalikan kepada RUSDI asli (Pelapor SHM 39),” tegas Budi Priyono, SE.,  yang juga Pengurus GAMAT-RI 

Sumadi, S.Ag Sekjend GAMAT RI yang ikut hadir dalam audiensi dengan Plt Asisten Sekda Provinsi yang mewakili Gubernur Jawa Tengah, sangat tegas menyatakan kalau mafia tanah harus disikat dan negara harus hadir membantu warganya untuk mendapatkan keadilan. 

“Kami mohon kasus SHM 38,39, 81 dan 105 Desa Ujung-Ujung Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang, harus segera dituntaskan. Kembalikan hak-hak para korban dan negara harus tegas terhadap siapa pun demi tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan. Jangan adalagi proses penanganan perkara yang diadukan oleh warga masyarakat, lamban penanganannya. Apalagi berunsur ketidakmampuan aparatnya dalam melaksanakan tugas,” tegas Sumadi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *