Memaknai Mayoritas Umat Islam Harus Selaras Dengan Kualitas Tidak Cuma Kuantitas

Oleh Jacob Ereste

 

Opini | patrolinusantara.press – Konstatir mantan wakil Presiden Jusuf Kalla tentang Muslim di Indonesia menghadapi masalah materi dan financial, karena saat ini 50 persen lebih ekonomi Indonesia dikuasai orang China. Jika saja konstatir ini benar, lalu siapa sesungguhnya yang salah ?

Menurut saya yang pertama, adalah umat Islam itu sendiri yang tidak memberikan perhatian secara khusus terhadap materi dan finansial. Seperti dana jemaah haji saja, justru tidak dipakai secara khusus untuk kepentingan umat Islam. Padahal, sumber dana yang bejibun serupa itu sungguh banyak bila mau dan bisa dikelola dengan maksimal, mulai dari menggali hingga mengelola sumber dana itu dengan baik dan dipercaya oleh umat. Coba saja tengok nilai kekayaan Muhammadiyah yang terus berkembang dan maju dalam berbagai macam usaha. Andai saja keberadaan dari sejumlah perguruan tinggi sampai kepada  lembaga  pendidikan milik Muhammadiyah bisa dinilai dalam bentuk materi dan finansial, mungkin diperlukan juru hitung minimal yang setara tenaga ahli dari BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia).

Setidaknya dengan mengacu pada kekayaan organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah itu — seperti orientasi dari organisasi keagamaan Islam yang lain — meyakinkan bahwa kekayaan yang pantas dan patut dimiliki itu adalah kekayaan yang bersifat non material. Tidal  dalam bentuk finansial.

Jadi jelas, karena orientasi umat Islam tidak untuk menguasai pasar — ekonomi ansich — maka untuk melihat dominasi dari kiprah umat Islam dalam bidang ekonomi — yang orientasinya adalah keuangan — menjadi semacam yang digambarkan Jusuf Kalla seperti tersebut diatas.

Yang tidak kalah menarik dari konstatir Jusuf Kalla itu terkesan memposisikan umat Islam yang harus menghadapi pengusaha China dominan karena  telah menguasai 50 persen ekonomi Indonesia dengan cacah jiwa mereka yang tidak lebih dari 4,5 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.

Contoh klasik yang ditunjukkan oleh kehadiran partai yang mengklaim atas nama umat Islam sepanjang sejarah — sejak Orde Lama  hingga Orde Reformasi — nyaris tak pernah mengendus masa kegemilangan yang mampu menggembirakan hati. Jumlah partai politik berbasis Islam pun cukup banyak. Tetapi kuantitas partai berbasis agama Islam yang ramai itu tidak selaras dengan kualitas yang mampu bernyanyi merdu di panggung politik. Jadi keoknya Umat Islam tak hanya di habitat ekonomi, seperti yang dicelotehkan Jusuf Kalla saat memompa semangat umat Islam pada acara halal bi halal ICMI dan Silaturrahmi Tokoh Bangsa, 12 Mei 2023 di Jakarta.

Dalam kalkulasi matematis serupa itu jadi sungguh terkesan sangat ironis, mengingat jumlah umat Islam cukup dominan jumlahnya. Maka itu yang lebih perlu mendapat perhatian warga bangsa bangsa Indonesia yang dominan beragama Islam, untuk tidak terus terkecoh oleh bilangan  kuantitas dengan bilangan kuantitas. Apalagi kemudian dalam bilangan yang naib seperti itu, tokoh dan pemikir dari umat Islam sendiri tidak cukup pandai — bahkan tidak punya inisiatif yang kreatif — untuk mengelola potensi yang luar biasa besarnya itu menjadi kekuatan yang mampu disublimasikan dalam bentuk materi ataupun finansial seperti yang keluhkan Jusuf Kalla.

Artinya, selama umat Islam tidak bangkit dan serius memasuki wilayah pasar, maka kegundahan hati seorang pengusaha sekaliber Jusuf Kalla tetap akan merasa sendiri, seperti anak yatim  di kerumunan pedagang dan pengusaha yang penuh keriangan dan kegembiraan bersama saudara mereka yang seiman, atau setidaknya seideologi dalam budaya leluhur yang mereka pelihara dengan baik dan kompak sampai beranak pinak di negeri yang mengaku Pancasilais ini.

Konstatir tentang kebanyakan umat Islam Indonesia hanya mampu menunaikan 3 dari  5 Rukun Islam, karena untuk mengeluarkan zakat dan menunaikan

Ibadah haji tidak mampu dilakukan, memang sungguh tragis. Tetapi yang lebih tragis dari itu, sebab untuk menunaikan ibadah haji bagi umat Islam Indonesia tidak pula mendapat perhatian. Utamanya ketika harus mengikuti antrean panjang, akibat kuota yang dibatasi serta tarif yang diatur secara sepihak oleh pemerintah dibiarkan naik, tak alang kepalang mahalnya. Sementara kecurigaan pada nilai dana gaji yang mengendap itu, tidak pernah dibuka hingga bisa digunakan untuk sementara waktu untuk keperluan yang lain. Padahal dari jumlah dana haji yang berbunga  dan beranak-pinak jumlahnya itu bisa menjadi modal usaha agar pasar tidak semakin dimonopoli sekaligus dapat memberi pelayan bertarif murah bagi umat yang membutuhkan bantuan yang diperlukan.

Pengelolaan zakat pun sepatutnya bisa dikelola sendiri oleh umat untuk umat, sehingga angka kemiskinan umat Islam dapat dijinakkan, agar tidak semakin liar dan terus menjalar.  Karena itu lompatan atau setidaknya langkah-langkah besar perlu segera dilakukan oleh tokoh dan pemikir Muslim yang tangguh — seperti yang ada di ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) hendaknya jangan cuma selesai setelah memasang papan nama belaka.

Nagrak, 18 Mei 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *