Peruntuh Jabatan Sang Pemimpin, Gerbang Kalacakra Masjid Menara Kudus

Kudus | patrolinusantara.press – Masjid Menara Kudus menyimpan banyak cerita sejarah yang menarik untuk diulas. Pada setiap sudut masjid yang juga dikenal dengan nama Masjid Al-Aqsha dan Masjid Manar ini lekat dengan cerita peradaban dan mitologi masyarakat Indonesia.

Desain masjid bak akulturasi dua agama Islam dan Hindu, dengan khas menara setinggi 18 meter berbahan batu bata. Dalam sebuah jurnal penelitian dan perkembangan arkeologi ‘Menara Masjid Al-Aqsha Kudus: Antara Situs Hindu atau Islam’ yang ditulis Moh. Rosyid dan terbit 2019 lalu.

Menara dalam masjid Kudus terbukti berbau Islam dengan bukti adanya candra sengkala di tiang-atap menara yang tertulis gapura Rusak Ewahing Jagad. Gapura merupakan simbol angka 9, rusak berangka 0, ewahing berangka 6, dan jagad berangka 1. Sehingga terbaca dari belakang adalah tahun 1609.

Tahun era Walisongo berkiprah di Jawa ketika umat Hindu sudah tidak eksis di Kudus. Sementara bentuk menara terilhami bentuk bangunan fisik yang menyerupai candi khas umat Hindu-Budha di Indonesia.

Masjid ini kemudian didirikan dengan filosofi Madureksan yang fungsi awalnya merupakan media untuk mendamaikan orang yang berkonflik. Madureksan dalam bahasa Jawa berasal dari kata padu dan rekso.

Dalam jurnal arsitektur yang ditulis T Roesmanto pada 2013 dengan tajuk ‘Rupa Bentuk Menara Masjid Kudus, Bale Kulkul, dan Candi’. Menurutnya, bangunan Menara Kudus sering diserupakan bentuknya dengan Bale Kulkul.

Sebuah bangunan yang menyerupai menara yang beratap dan tempat kulkul atau kentongan agar informasi terdengar jauh dari banjar dan candi candi di Jawa Timur, seperti Candi Jago, Candi Kidal, dan Candi Singasari.

Mitos Kalacakra Peruntuh Kekuasaan Pemimpin

Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, Masjid Menara Kudus memiliki gerbang dengan mitos kekuatan yang mampu meruntuhkan kekuasaan pejabat. Konon, Ja’far Shodiq atau yang dikenal sebagai Sunan Kudus sebagai pendiri masjid memasang rajah yang dikenal dengan nama Kalacakra atau kolocokro.

Diyakini, bila pejabat level tinggi melewati pintu tersebut maka jabatannya akan lengser.

Awal mula dipasang Rajah Kolocokro oleh Sunan Kudus sebagai upayanya memediasi konflik pewaris Dinasti Kerajaan Demak. Sunan juga ingin menghindarkan Panti Kudus (sebutan untuk pesantren yang diasuh oleh Sunan Kudus), dari tarik-menarik pengaruh politik.

Pascawafatnya Pati Yunus, sultan kedua Kesultanan Bintoro Demak, penerus tahta berikutnya yakni Sultan Trenggono, tidak didukung sepenuhnya oleh kalangan internal sehingga terus terjadi gejolak.

Pelaku konflik di Kerajaan Demak saat itu Sultan Hadiwijaya dengan Haryo Penangsang. Pada situasi perseteruan panas itulah kedua pihak menemui Sunan Kudus untuk meminta nasihat. Sang Sunan menghendaki semua dikembalikan pada titik nol. Semua harus menanggalkan posisi politik, jabatan ataupun kekuasaannya.

Sunan Kudus memasang Rajah Kolocokro untuk menihilkan semua kekuatan, kedigdayaan, dan kekuasaan bagi pihak yang berkonflik bila melewati pintu rajah. Haryo Penangsang yang datang ke Sunan Kudus melewati pintu rajah sehingga jabatannya lengser. Sementara Hadiwijaya melewati jalan yang lainnya.

Dalam tafsir lain, pesan Sunan Kudus memasang rajah adalah siapapun yang datang ke Menara Kudus untuk menanggalkan kepentingan duniawi, terutama jabatan dan kekuasaan.

“Saya tidak sepakat kalau cerita ini hanya disebut mitos. Karena ada datanya, peristiwanya, dan bukti (rajah),” kata Pengurus Komunitas Menara Kudus, Abdul Jalil.

“Sunan Kudus membuat Rajah Kalacakra diletakkan di gerbang masuk Menara Kudus. Siapapun yang melewati akan kehilangan kadigdayan. Diharapkan Hadiwijaya melewati rajah itu, ternyata dia lewat jalan lain. Justru Haryo Penangsang yang lalai, dan melewati gerbang tersebut. Celaka dia setelahnya,” lanjut Abdul Jalil.

Hingga saat ini, cerita itu masih terus berkembang, dilestarikan dan dikukuhkan. Banyak pejabat dan politisi yang kemudian yang tidak mau ambil resiko setelah datang ke Masjid Menara Kudus akan kehilangan pengaruh dan kekuasaannya. Apalagi mereka juga tidak tahu di pintu yang mana dulu Sunan Kudus memasang doa saktinya.

“Banyak yang datang ke sini, yang melewati gerbang itu, akan tumbang dari jabatannya. Kami punya datanya, karena tiap tamu ada daftarnya. Namun, kami tidak bisa menyebutkan,” kata Dosen Pasca Sarjana STAIN Kudus tersebut.

Para pejabat yang memang akan berkunjung akan meminta pengelola masjid untuk dapat masuk dari pintu lain, tanpa melewati pintu gerbang yang dirajah Kalacakra.

Abdul Jalil memaparkan pesan dari Sunan Kudus dengan memasang Rajah Kalacakra itu adalah agar siapapun yang datang ke Menara Kudus atau berziarah harus menanggalkan kepentingan duniawi, terutama kekuasaan.

Sunan Kudus sendiri selama hidupnya selaku memberikan motivasi kepada para santrinya maupun warga umum untuk memegang pedoman hidup ‘gusjigang’, akronim dari bagus, ngaji, dagang (intelektual, spiritual, dan ekonomi). Itulah yang layak dipegang dan dicari dalam menjalani kehidupan.

“Jika hendak ke Menara Kudus atau ziarah jangan niatnya cuma mampir, tapi memang seyogyanya bersilaturahmi dan jangan ada kepentingan politik. Hal ini ada kaitannya Sunan Kudus mengajarkan ‘Gusjigang’. Sudahlah, kalau ke Kudus jangan berpikir kekuasaan,” tutur Jalil.

Sumber : CNN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *