PUASA MEMBENTUK “INSAN NASIONALISME” YANG SANTUN DAN BERADAB

Oleh :

Dr.Drs. TM Jamil TA, M.Si

Guru pada Sekolah Pascasarjana, USK, Banda Aceh

 

patrolinusantara.press – Insya Allah, enam hari lagi, Bulan Ramadhan 1444-H Akan Menemui Kita. Kita berdo’a kepada Allah SWT semoga kita diberikan keberkatan umur dan kekuatan untuk dapat mengisi bulan-bulan tersebut dengan berbagai amal ibadah kepada-Nya, seraya kita berdo’a untuk diampuni dosa-dosa yang telah lalu. Selamat Datang Bulan Mulia, Bulan Penuh Berkah dan Selamat Datang Bulan Penghapus Dosa.

Tiga puluh hari di mana kemuliaan akan menemani kita ada di Ramadhan. Satu bulan suci yang akan mengantarkan kita untuk merasakan sentuhan kasih sayang Sang Maha Penyayang yang mungkin kita lupakan pada bulan-bulan yang lain. Sebelas bulan dalam setahun kita sibuk mengejar kemewahan, superioritas, gelimang gemerlapnya dunia, dan tanpa kita sadari bertumpuk-tumpukan dosa dan kesalahan di pundak kita. Kita sudah biasa melupakan-Nya, mengkristal kan buntalan batu dalam hati kita, mengobarkan api permusuhan terhadap siapa saja yang menghalangi langkah kita serta buta kepada yang di “bawah” dan di sekitar kita.

Puasa yang kita lakukan sebagaimana keterangan dalam (QS : 2 : 183) bertujuan untuk menjadikan kita sebagai manusia taqwa. Taqwa itu sendiri merupakan prestasi spritual tertinggi yang mungkin dicapai seorang hamba, dan dapat dikatakan membentuk manusia taqwa inilah yang merupakan tujuan dari diutusnya baginda rasul. Di dalam haditsnya baginda rasul memang mengatakan “aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”, tapi seseorang tidak mungkin mampu menerima dan melakukan akhlak mulia tanpa ia menjadi orang yang bertaqwa. Di dalam Al Quran disebutkan tentang ciri-ciri orang yang bertaqwa; menafkahkan harta di waktu lapang dan di waktu sempit, menahan amarah, memaafkan kesalahan orang lain, dan segera memohon ampun kepada Allah swt apabila melakukan kesalahan.

Bila kita perhatikan di antara ciri-ciri taqwa yang terdapat dalam, QS : 3 : 133 -145, akan kita dapati tiga dari empat ciri orang yang bertaqwa itu berkaitan dengan konteks hablumminannaas, dan ciri yang ke-empat berkaitan dengan konteks hablumminallaah, meski permohonan ampun kepada Allah itu sangat mungkin berangkat dari hablumminnaas, seperti seseorang yang melakukan kesalahan kepada orang lain, lalu setelah meminta maaf atas kesalahannya kepada manusia, untuk menyempurnakan taubatnya maka kemudian ia meminta ampun kepada Allah.

Ketiga ciri orang bertaqwa tersebut menekankan pentingnya kualitas hubungan antara sesama manusia (berbagi di waktu lapang atau sempit, menahan amarah, dan memberi maaf), hal ini menunjukan bahwa sesungguhnya puasa itu merupakan suatu media yang bertujuan untuk membangun hubungan yang harmonis antara sesama kita. Selanjutnya bila kita perhatikan realitas kehidupan ini senantiasa menyuguhkan problematika yang tiada berkesudahan, dan kita sepakat bahwa masalah-masalah yang muncul itu banyak disebabkan karena faktor manusia, masalah-masalah itu muncul karena hubungan yang terjadi antara sesama mereka merupakan hubungan yang kering dari spirit agama, akibatnya banyak manusia yang enggan berbagi ketika berada dalam kelapangan apalagi ketika dalam kesempitan.

Manusia terlalu gampang mengumbar amarah hanya karena persoalan sepele, pada saat bersamaan manusia juga sulit memaafkan, dan manusia kurang ber-muhasabah atau introspeksi diri hingga tidak cepat-cepat minta ampun kepada Allah.

Kelompok manusia yang enggan berbagi akan memunculkan kesenjangan ekonomi, sikap individualistis, dan mau menang sendiri. Kelompok manusia yang tidak mau menahan amarahnya, akan dengan mudah memunculkan permusuhan dan kebencian, sedangkan kelompok manusia yang enggan memberi maaf akan mengekalkan permusuhan itu, dan kelompok manusia yang enggan bertaubat karena tidak menyadari kesalahannya karena tidak mau ber-muhasabah akan mengulangi kesalahan itu lagi, bahkan melakukan kesalahan yang lebih besar, akibatnya permasalahan dalam masyarakat tidak pernah usai, terulang dan terulang lagi, dan inilah fenomena yang muncul dalam masyarakat.

Sehubungan dengan itu berbagai upaya telah dilakukan untuk memperbaiki segala kekurangan dan kerusakan yang ada, presiden telah berganti, menteri telah berganti, gubernur telah berganti, bupati telah berganti, bahkan sistem pemerintahan telah berganti namun perubahan signifkan dalam kehidupan masyarakat belum terlihat memuaskan, dalam bidang ekonomi kita belum dapat berbicara banyak, khususnya bila dikaitkan dengan kesejahteraan rakyat kecil, masih sangat banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan bunuh diri karena kemiskinan itu, dalam bidang politik, para elit politik kita termasuk orang yang enggan berbagi, sulit memaafkan, dan kurang introspeksi diri.

Lebih dari itu hanya sedikit waktu dan tenaga yang mereka sediakan untuk rakyat, produk perundang-undangan yang mereka buat pun tidak benar-benar berorientasi kepentingan rakyat, demikian juga dalam hal memilih calon pemimpin baik tingkat nasional atau daerah mereka selalu mengukurnya dari kepentingan mereka, mereka juga termasuk sulit menahan amarah, yang hal ini dapat kita lihat secara langsung ketika mereka mengadakan rapat, cara-cara tidak santun dan terkesan kasar mereka pertontonkan, mereka juga sulit memaafkan kesalahan pihak lain bahkan kesalahan itu dimanfaatkan untuk menghantam lawan politik. Mereka juga termasuk kelompok yang sulit menyadari kesalahan dirinya sendiri sehingga mereka jauh dari bermohon ampun kepada Allah.

Pada akhirnya, jikalau para pemimpin kita adalah orang yang bermasalah dengan kepribadiannya, maka wajar jika rakyatnya demikian, karena pemimpin itu ‘wajah depan’ kultur masyarakat nya, bersamaan dengan itu akibat rakyat ini dipimpin oleh manusia-manusia yang tidak berkualitas secara spritual maka rakyatlah yang menjadi korbannya, padahal kebanyakan para pemimpin di negara ini adalah manusia-manusia muslim yang dibebankan kepadanya kewajiban puasa.

Akhirnya dalam kehidupan berbangsa tidak pernah reda apalagi usai, meski pemimpin berganti, sistem berganti, hal itu terjadi karena kita lupa untuk memperbaiki diri. Perbaikan itu harus dimulai dari dalam diri sendiri. Karena bila manusia lupa memperbaiki diri sebagus apapun sistem yang kita pakai tetap saja tidak memberikan perbaikan, apalagi jika sistem itu tidak bagus, sementara saat ini kita tidak mengetahui dengan pasti apakah sistem dalam bernegara yang kita anut saat ini apakah bagus atau tidak Dalam hal ini puasa memiliki peranan yang sangat besar dalam menentukan perbaikan kualitas individu.

Selanjutnya, setiap manusia dapat mewarisi sifat-sifat Allah tersebut, termasuk sifat pengasih dan penyayang, hanya saja yang ada pada manusia dibatasi oleh kelemahan dan hawa nafsunya. Maka, puasa pada hakikatnya mengasah dan memperbesar rasa kasih sayang kita, dari rasa kasih itu manusia senantiasa mudah mengalirkan kebaikan kepada orang lain. Insya Allah, Aamiin Yaa Rabbal Alamin.

Banda Aceh, 16 Maret 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *