GAMAT RI dan GJL Kawal Gelar Perkara Kasus Tanah SHM 38 dan 39 Desa Ujung- Ujung di Polda Jateng

Semarang | patrolinusantara.press – Bertempat di Ruang Rapat Direskrimum Polda Jateng, Senin (8/5) Gerakan Anti Mafia Tanah (GAMAT) dan Gerakan Jalan Lurus (GJL) Kota Semarang, mengawal jalannya Gelar Perkara penanganan kasus tanah Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 38 Desa Ujung-Ujung Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah atas nama Sumali dan SHM Nomor 39 atas nama Rusdi.

Gelar Perkara yang dipimpin AKBP Purwanto, para penyidik terkait, para pelapor, para terlapor, Saksi dari Kantor BPN Kabupaten Semarang dan Saksi Ahli Prof. Mahmuhtarom, SH., berlangsung alot. 

Gelar Perkara kasus tanah SHM 38 dan SHM 39 kali ini merupakan gelar perkara atas laporan Polisi di tahun 2018, yang seharusnya dilaksanakan pada  tanggal 13 Maret 2023 bersamaan dengan kasus tanah SHM 81 dan 105 yang juga dilaporkan pada tahun 2018 dan 2019. 

Para pemilik tanah SHM 338, 39, 81 dan 105, awalnya adalah para petani penggarap yang kemudian, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala Daerah (KDH) Propinsi Jawa Tengah Nomor SK.DA.II/ HM/2155/28/1979, tanggal 15 Februari 1979 ditetapkan sebagai yang diberi hak oleh negara karena secara fakta mereka adalah penggarap tanah negara bersama para petani penggarap lainnya.

Kasus SHM 38

Sebelum Gelar Perkara dimulai, Yanti, yang pada 7 Maret 2023 melakukan unjuk rasa menuntut keadilan karena laporan kasus tanah SHM 38, 39, 81 dan 105 Desa Ujung-Ujung yang tidak kunjung tuntas penanganannya, meminta agar Gelar Perkara ini makin membuat terang benderangnya kasus SHM 38.  Yanti tidak ingin setelah digelar, tidak segera ada tindaklanjutnya, seperti kasus SHM 81 atas nama Harno kakak kandung Yanti. 

Yanti juga meminta tolong GAMAT dan GJL agar kasus tanah SHM 105 atas nama Ibu Siyem ibu kandung Yanti, yang sudah di-Gelar Perkara di Polda dan terang benderang pada 13 Mart 2023, justru dihentikan oleh penyidik dengan alasan, tidak ada unsur pidana di dalamnya. 

“Sejak terbit di tahun 1979, SHM 105 atas nama Siyem, tidak pernah diberikan oleh pak R. Soewandono orang Pertanahan yang membantu mengurus pengurusan sertifikatnya. Dijual dan dijadikan jaminan hutang pun tidak pernah, tetapi SHM 105 bisa berubah dari atas nama Ibu Siyem menjadi Caroko Aribowo dan kemudian dikuasai Sumardiyanto tanpa ganti rugi serupiahpun,” ungkap Yanti, yang merasa tidak puas atas penghentian kasus SHM 105 dan meminta Bapak Presiden dan Bapak Kapolri ikut turun tangan membantunya. 

Berangkat dari penanganan kasus SHM 81 dan 105 yang demikian, wajar saat Gelar Perkara kali ini, sebagai salah satu ahli waris Almarhum Simbah Sumali, pemilik sekaligus pelapor kasus tanah SHM 38, Yanti secara tegas meminta kepada pimpinan Gelar Perkara agar terlapor Sumardiyanto alias Mardiyanto, yang Purnawirawan Polrilah, segera ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. 

Yanti yang didampingi Advokat/ Pengacara Evarisan, S.H., M.H dari Klinik Ultra Petita Semarang, marah dan bereaksi keras saat Mardiyanto berbohong terkait tanah SHM 38. Mardiyanto menyebut dirinya tidak pernah datang ke rumah almarhum Sumali karena Sumali itu miskin. Apalagi saat Mardiyanto menyebut dirinya seorang Haji, dan tidak mungkin berbohong.

“Mardiyanto itu pembohong. Dialah yang datang ke rumah almarhum Bapak Sumali, membawa uang untuk membayar tanahnya Bapak Sumali (tanah SHM 38). Bukan uang sewa yang belum dibayar semua saat masa sewa telah habis.” Papar Yanti, menegaskan bila tanah Bapak (Sumali) tidak dijual dan berkisah bila saat itu, Mardiyanto marah-marah dan menteror Bapak Sumali maupun dirinya. 

“Mardiyanto mengancam akan menghukumkan Bapak Sumali dengan tuduhan menguasai tanah negara kalau tidak mau menerima uangnya,” tegas Yanti yang menantang Mardiyanto untuk jujur saja karena Mardiyanto lah yang membuat kwitansi sewa menyewa tanah Sumali dan Harno kakaknya yang isinya ternyata jual beli.

“Memang benar,  tanah dan fisik SHM 38 sudah dikembalikan kepada keluarga almarhum Bapak Sumali, setelah kami somasi. Hanya saja, bagian tanah Almarhum Bapak Sumali yang sudah diambil Mardiyanto untuk dijual sebagai tanah urug proyek tol Semarang-Solo, tidak pernah dibayarkankan kepada Bapak Sumali masih hidup,“ jelas Yanti menambahkan bila pohon-pohon buah yang dibabat Mardiyanto juga tidak diberi ganti rugi.

Saat ditanyakan oleh GAMAT dan GJL terkait kasus tanah SHM 38, Advokat/ Pengacara Evarisan, S.H., M.H yang mendampingi Ibu Yanti, berharap agar kasus tanah SHM 38 tidak dihentikan.

“Kasus SHM 38, seperti halnya kasus tanah SHM 39 dan 81 itu dilaporkan pada tahun 2018, dan kami harapkan bisa dituntaskan dengan sebaik mungkin sesuai aturan yang berlaku,” pinta Evarisan yang mendampingi keluarga pelapor kasus SHM 38, 39, 81 dan 105 Desa Ujung-Ujung secara pro bono alias gratis. 

“Tanah dan SHM 38 atas nama Almarhum Sumali yang memang sudah dikembalikan setelah melalui perjuangan panjang. Hanya saja, penanganan kasusnya harus dikembangkan saat ada tindakan teror kepada keluarga Almarhum Bapak Sumali,“ tegas Evarisan yang menyebut juga ada perusakan pohon-pohon buah di atas tanah SHM 38.

Evarisan juga menyebut, ada pengambilan bagian dari tanah SHM 38 oleh Mardiyanto untuk dijual sebagai tanah urug ke proyek pembangunan jalan tol Semarang-Solo, yang uangnya tidak pernah diberikan kepada Sumali saat masih hidup maupun keluarganya. Semua itu ada unsur pidananya dan sangat tepat kalau Polda meningkatkan kasus tanah SHM 38 sebagai kasus yang harus ditindaklanjuti, serta dilanjut dengan penetapan terlapor sebagai tersangka dan kemudian menahannya.

Kasus SHM 39

Setelah selesai Gelar Perkara kasus SHM 38 Desa Ujung Ujung atas nama Sumali, digelar pula kasus SHM 39 Desa Ujung Ujung atas nama Rusdi. Gelar Perkara kasus SHM 39 yang awalnya datar-datar saja saat Bapak Rusdi 84 tahun menceritakan soal tanah SHM 39 miliknya  hingga dikuasai oleh terlapor Mardiyanto meski tanah itu tidak pernah dijual atau dijadikan jaminan hutang, diwarnai kehebohan terjadi saat Ibu Maemonah, warga Kecandran Salatiga yang muring-muring atau memaki-maki Mardiyanto dan Kemat Jaelani di dalam forum gelar Perkara.

Maemonah yang hadir bersama anaknya, Mu’in, merasa diperalat dan ditipu oleh Mardiyanto dan Kemat Jaelani. Maemonah cs yang sejak awal mengaku tidak merasa pernah memiliki tanah SHM 39 Desa ujung-Ujung atas nama Rusdi (yang disebutkan sebagai suaminya yang juga bernama Rusdi), dipaksa oleh Mardiyanto dan Kemat Jaeleni untuk melakukan hal-hal yang kemudian memunculkan SHM 39 baru atas nama Maemonah cs dan kemudian fisik SHM 39 asli yang baru dipegang terlapor Mardiyanto.

“Ibu Maemonah sejak awal bersikukuh tidak pernah merasa memiliki tanah SHM 39. Namun dipaksa untuk seolah-olah mengaku memilikinya oleh Mardiyanto dan Kemat Jaeleni,” papar Mu’in putra Maemonah putra almarhum Rusdi.

Mu’in juga menegaskan bila pihaknya telah berkirim surat ke Kantor Pertanahan dan Polda untuk membatalkan SHM 39 atas nama Maemonah Cs dan menyerahkan kembali kepada Bapak Rusdi sebagai pemilik tanah SHM 39 yang sebenarnya. Hanya saja, sampai sekarang tidak ada kelanjutannya.

Menurut GAMAT dan GJL, kasus tanah SHM 39 ini sebenarnya sudah terang benderang juga. Bukan sekedar soal proses pengalihan nama yang menguasai dengan unsur pemanfaatan nama-nama orang lain yang bernama sama dengan nama pemilik asli SHM 39, Rusdi.

“Bukti-bukti pendukung, seperti pernyataan Kemat Jaelani, Ibu Maemonah cs, Bapak Suyono cs, Bapak Bilal Handoyo, dan surat permohonan pembatalan SHM 39 oleh Ibu Maemonah cs, sebenarnya sudah cukup untuk dapat dijadikan alat bukti guna menaikkan perkaranya,” kata Evarisan yang mendampingi Rusdi.

“Apalagi bila ditambah dengan Surat Perjanjian dan Kuitansi Jual Beli Palsu atas tanah SHM 39, antara Kemat Jaeleni dengan keluarga almarhum Bapak Rusdi Palsu 2 yang dibuat oleh Mardiyanto. Semua cukup untuk nantinya dijadikan alat untuk menetapkan terlapor Mardiyanto dan Kemat Jaelani sebagai tersangka serta menahannya,” pintanya.

Evarisan juga menegaskan bila sejak awal Rusdi hanya meminta tanah dan SHM 39 miliknya dikembalikan. Tanah SHM 39 yang sebelumnya berupa perbukitan, yang dikepras dan ditambang untuk dijual oleh terlapor Mardiyanto sebagai tanah urug ke proyek pembangunan jalan tol Semarang-Solo, juga diharapkan uang hasil penjualan tanah-tanahnya diberikan kepada Rusdi.

“Kami berharap, semua berjalan sesuai aturan demi tegaknya kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tanah-tanah SHM 38, 39, 81 dan 105, harus dibantu oleh pihak-pihak terkait, untuk kembali sesuai aturan hukum yang berlaku. Jangan ada yang merasa kebal hukum atau mendapat perlakuan istimewa lalu bertindak seenaknya dengan berbagai kebohongan serta keangkuhannya,” harap Budi, ketua GAMAT dan GJL Kota Semarang yang merasa prihatin saat ada diskriminasi dalam penanganan perkara pidana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *